Latest Entries »

WALI DALAM PERNIKAH

Sobat………… saya yakin bahwa sobat sering denger istilah wali dalam pernikahan…..  mungkin kita juga sudah tahu bahwa yang wajib menghadirkan wali saat pernikahan adalah pihak perempuan. Namun mungkin sebagian kita tapi tidak semua, masih bingung siapa saja sih yang berhak menjadi wali untuk seorang perempuan yang akan dinikahi……

Sedikit tulisan dibawah ini akan menjadi pemicu untuk sobat mau mencari lebih dalam tentang masalah wali dalam perkawinan……. Sobat yuk kit baca yuk……  semoga kita semua dapa memetik manfaat dari tulisan dibawah ini……..

Wali dan tingkatannya

Jumhur ulama diantaranya Imam Malik, Asy Syafi`I, Ats Tsauri dan Al laits bin Sa`ad berpendapat bahwa wali dalam pernikahan  adalah ashabah, bukan paman, bukan saudara seibu dan buka saudar dzawil arham lainnya.

Kata Imam Syafi`i pernikahan seorang perempuan tidak sha kecuali apabila dinikahkan oleh wali aqrab (Dekat) kalau tidak ada wali aqrab maka dinikahkan oleh wali ab`ad ( Jauh), kalau tidak ada perempuan tersebut akan dinikahkan oleh penguasa (wali hakim).

Urutan nama-nama wali dalam pernikahan :

  1. Ayah
  2. Kakek
  3. Saudara laki-laki sekandung
  4. Saudara laki-laki seayah
  5. Anak laki-laki  dari saudara laki-laki sekandung
  6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
  7. Paman sekandung (saudara laki-laki dari ayah yang seibu seayah)
  8. Paman seayah
  9. Anak laki-laki dari paman sekandung
  10. Anak laki-laki dari paman seayah
  11. Hakim

Abu hanifah berpendapat bahwa hak untuk menjadi wali juga diberikan kepada selain ashabah, misalnya paman dari pihak ibu serta anak paman tersebut dan anak ibunya (saudara laki-laki seibu). Pendapat ini dikuatkan oleh  Sayid Siddiq hasan khan.

Wali mujbir dan syarat-syarat

Wali mujbir menurut mazhab Syafi`i ialah ayah dan kakek. Mujbir artinya orang yang berhak mengakat perkawinan dan akadnya dapat berlaku bagi anak perempuan yang masih gadis.

Adapun laki-laki ia lebih berhak untuk mengawini dirinya dari pada ayahnya secara ijma`, ayahnya tidak berhak untuk menjadi wali bagi dirinya. Bagaimana seorang ayah akan berbuat hukum untuk anaknya tanpa ada alasan hukum dan bertentangan dengan fitrah manusia? Bukan ini berati kezaliman, menjadikan anak sebagai budaknya.

Wali enggan menikahkan

Para ulama sepekat bahwa wali tidak boleh enggan menikahkan perempuan yang dalam kewaliannya, tidak boleh menyakitinya atau melarang kawin padahal yang mengawininya itu sudah sekufu – sepadan- dan sanggup membayar maskawin. Dalam hal ini apabila walinya enggan menikahkan maka siperempuang berhak mengadu halnya kepada hakim untuk dinikahkan, dalam hal semacam ini hak wali yang enggan menikahkan itu tidak berpindah kepada wali lain yang lebih rendah tingkatannya, tetapi langsung berpindah ketangan hakim. Di indonesia wali hakim dijalankan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan.

Hadis Riwayat Bukhari dan Abu Daud (lihat Subulus salam III : 120)

Diriwayakan  dari Ma`qil bin Yasar, ia berkata : saya punya saudara perempuan, ia dipinang oleh pemuda anak paman saya, perempuan itu saya kawinkan dengan nya. Kemudian diceraikan dengan thalaq yang masih memungkin untuk rujuk. Perempuan ditinggalkan sampai habis masa iddahnya. Setelah itu ia datang lagi untuk meminang, maka saya jawab : Demi Allah, saya tidak akan mengawini engkau dengan di selamanya, kemudian turunlah ayat Quran tentang  keputusan saya itu :

Artinya :

Apabila Kamu menthalaq istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (Para wali) menghalangi mereka kawin dengan bakal suaminya ” (2 Al – Baqarah. 232)

Ma`aqil berkata : Kemudian saya menebus sumpah saya dan perempuan itu saya kawinkan dengannya.

Mewakilkan perkawinan

Dalam akad nikah apabila salah satu pihak, misalnya mempelai laki-laki tidak hadir, ia dapat memberikan kuasa atau mewakili kepada orang lain untuk melakukan ijab-qabul.

Rasulullah s.a.w pernah mewakilkan kepada salah seorang sahabatnya, sewaktu kawin dengan ummu Habibah binti Abi Sufyan yang ikut hijrah ke Habasyah. Negus Raja Habasya menikahkan ummu Habibah dengan rasulullah s.a.w yang ada di madinah, akadnya diwakilkan oleh Amr bin Umayyah Adh Dhamri, Najasyi (Negus) memberikan maskawin sebanyak 500 dinar  sebagai penghormatan  kepada Rasulullah s.a.w.

Orang yang dapat mewakilkan

Wakalah shah dilakukan oleh seorang laki-laki yang sudah dewasa dan sehat akalnya, orang dewasa dan sehat akalnya dipandang sempurna kecapakannya.

Wakil adalah duta dan juru bicara

Wakalah dalam perkawinan berbeda dengan wakalah dalam akad-akad lainya. Wakalah atau perbuatan mewakilkan dalam perkawinan tidak lain hanya merupakan duta atau pelaksana saja, hak atau akibat hukum akad tidak kembali kepada dirinya, ia tidak dituntut membayar maskawin, istri tidak wajib taat kepadanya, ia hanya wakil dari suami.

Demikian mohon masukan sobat-sobat, yuk kita saling berbagi…………………

Waaluhua`alam Bissawab……

Selayang Pandang Praktek Kawin Tahlil atau Cina Buata di Aceh

Istilah dan praktek kawin cina buta di Asia Tenggara pertama kali ditemukan dalam sebuah alkisah di kitab Jawi. seorang lelaki Islam yang mentalak 3 istrinya, kemudian menyesal dan ingin rujuk kembali. Lalu lelaki tersebut mengawinkan istrinya yang cantik dengan seorang Cina muallaf yang miskin dan buta, dengan harapan suami cina buta yang dibayar tersebut nantinya ketika diminta menceraikan istrinya juga akan menurut. Tapi kemudian jadi masalah karena suami cina buta tersebut tidak mau menceraikan istrinya. Dalam pengadilan Belanda, suami cina buta tersebut memenangkan kasus.

Praktek kawin cina buta adalah perpaduan dari pemaksaan cerai dan pemaksaan perkawinan. Kawin cina buta diyakini wajib dilakukan oleh perempuan yang ingin rujuk dengan suaminya setelah suami istri menyatakan cerai sampai tiga kali. Cerai ini dianggap sah walaupun tanpa pengesahan dan proses rujuk sebelumnya dari pihak yang ditugaskan yaitu Mahkamah Syar’iah atau petugas KUA. Karena telah talak sampai tiga kali, untuk dapat rujuk kembali, baik pihak suami maupun istri harus terlebih dahulu menikah dengan orang lain. Dengan diperbolehkannya poligami, pihak suami dapat mempertahankan istri barunya, sementara bagi pihak istri pernikahan tersebut harus diakhiri dengan perceraian.

Untuk dapat melangsungkan pernikahan itu, pihak perempuan harus menyediakan semua ongkos pernikahan termasuk mahar dan “upah” menjalankan proses hubungan suami istri sebelum akhirnya bercerai. Pihak perempuan juga harus menunggu masa iddah (3 bulan 10 hari) sebelum dapat kembali rujuk dengan suaminya yang awal. Praktek perkawinan yang harus dijalankan oleh pihak perempuan inilah yang dirujuk sebagai kawin cina buta.
Terdapat dua  kasus yang dipaksa atau terpaksa menjalankan kawin cina buta. Menurut korban dan keluarga korban serta masyarakat sekitar, praktek cina buta lazim dilaksanakan di kampungnya. Masyarakat menerapkannya dan tidak berdaya menolak karena sudah menjadi ajaran dan paham yang disebarkan dan ditanam oleh para ulama yang menjadi panutan umat. Menurut para ulama, itu adalah hukum Allah, wajib bagi umat Islam untuk menjalankannya dan terkutuk ketika meragukannya, apalagi mempertanyakan. Pada salah satu kasus, pemaksaan ini dikuatkan oleh penganiayaan fisik berat yang dilakukan ayah korban saat melihat korban sedang berbincang dengan (mantan) suaminya merundingkan proses kawin cina buta. (lihat ilustrasi 14)

Ilustrasi 14

Kawin Cina Buta


N saat ini berumur 24 tahun, mempunyai dua anak namun salah satunya meninggal dalam musibah tsunami. N dan (mantan) suaminya menikah sejak tahun 1998. Pada suatu hari di akhir bulan juli 2005 di sebuah kamar barak huntara Kecamatan Jaya Aceh Jaya, N dan suami bertengkar. Pertengkaran berakhir dengan masing-masing menginginkan cerai. Malam itu juga suami N memanggil ayah serta ibu N dan menyatakan mencerai N dengan talak 3. Setelah kejadian itu N dan suami merasa menyesal dan ingin rujuk. Tetapi menurut tiga ulama yang mereka temui, N dan suaminya bukanlah pasangan suami istri lagi, mereka sah bercerai. Kalau mereka ingin rujuk, mereka harus menjalankan kawin cina buta dan setelah itu baru dinikahkan kembali.

Suami N kemudian menikah dengan perempuan lain dan kemudian menceraikan perempuan tersebut ketika pernikahannya baru satu bulan. Sampai dengan bulan Januari 2006, N dan mantan suaminya belum bisa menikah kembali karena N belum menjalankan praktek cina buta. Menurut ajaran ulama setempat, N harus mencari calon suami cina buta dan menyediakan mahar. N dan suami cina buta harus melakukan hubungan suami istri dan tidak diperkenankan memakai alat kontrasepsi. Apabila suami cina buta tidak mau menceraikan N setelah proses cina buta selesai, maka N harus tetap menjadi istri suami cina butanya.

Karena keinginan mereka untuk rujuk begitu kuat, pada bulan januari 2006, dengan dibantu oleh (mantan) suaminya N mempersiapkan perkawinan cina buta tersebut di Banda Aceh, tetapi perkawinan cina buta itu gagal karena N tidak punya uang sejumlah tiga juta (sebagai bayaran untuk suami cina buta) untuk mengupah ”suami cina buta” selain mahar dan ongkos pernikahan tentunya.

Saat merundingkan ulang proses kawin cina buta dengan mantan) suaminya di kamar barak yang tidak ditutup pintunya, ayah N tiba-tiba datang. Tanpa banyak bertanya, ayah N memukul dengan kepala ikat pinggang, Korban dipukul di belakang punggung kiri & kanan, paha bagian depan sebelah kanan, paha kiri bagian belakang, betis kiri & kanan, leher bagian belakang, & lengan kiri & kanan. Ini disaksikan oleh anggota keluarga korban serta tetangga barak.Alasan pemukulan adalah malu melihat anaknya bergaul dengan (mantan) suaminya padahal mereka belum lagi sah menjadi suami istri (kembali).

Akibat pemukulan itu, 2 hari N tak dapat bergerak, terbaring kesakitan. Saat terakhir bertemu dengan dokumentator di akhir Februari, menurut N ia sudah melakukan praktek Cina buta. Untung saja suami cina butanya itu bersedia menepati janji untuk menceraikannya. Sekarang ia sedang dalam masa iddah, berharap cemas apakah hamil atau tidak.

Kalaupun ada argumen bahwa kawin cina buta ini dimaksudkan untuk mencegah
pelecehan terhadap institusi perkawinan karena setiap orang merasa gampang keluar masuk institusi tersebut, tampaknya argumen ini perlu ditinjau ulang. Dari ilustrasi salah satu temuan di atas, dimanakah letak syiar mawadah wa rahmah, pembentukan keluarga sakinah dalam sebuah perkawinan dan apa artinya nilai-nilai seksualitas yang selama ini sangat disakralkan? Sementara niat untuk rujuk terhalangi, sebuah perkawinan lainnya harus dijalankan. Kali ini pernikahan itu sama sekali tanpa niat untuk membentuk keluarga sakinah dan tanpa landasan mawaddah wa rahmah. Hanya sebuah pernikahan dengan sebuah hubungan seks yang dipaksakan, yang agar hubungan seks sesaat itu dapat dikatakan syah dan tidak melanggar hukum dan agama maka seluruh prasyarat pernikahan perlu dilakukan- membaca ijab Kabul, mahar dan juga, uang pembeli suami cina buta.

Bagi perempuan yang menjalankan praktek cina buta, tradisi ini benar-benar meletakkannya dalam posisi rentan kekerasan, antara lain:

  1. keterpaksaan berhubungan seksual dengan ”suami cina buta”.
  2. berhubungan seksual secara tidak aman, karena diyakini hubungan tersebut harus tanpa menggunakan alat kontrasepsi.

Artinya, perempuan tersebut berhadapan dengan resiko:

  • Terjangkit penyakit menular seksual.
  • Hamil.
  • Resiko terikat dalam perkawinan cina buta bila pasangannya itu tidak mau menceraikan.
  • stigma sosial terkait seksualitas perempuan, yang mungkin menyebabkan suami awalnya tak mau lagi rujuk setelah perempuan itu melangsungkan kawin cina buta, apalagi bila perempuan itu mengandung anak dari ”suami cina butanya” itu.

Peristilahan dan nilai-nilai yang terkandung dalam paham serta praktek kawin cina buta adalah perwujudan dari idiologi penundukan mental dan tubuh serta seksualitas perempuan yang berasal dari relasi dominasi terhadap adab perkawinan yang mensyaratkan adanya penguasaan, dogma penafsiran agama absolut, yang dipadukan dengan ideologi rasisme terhadap kelompok etnis cina yang tumbuh marak di negeri ini. Semuanya itu dilakukan dengan memakai landasan pembenaran “hukum Allah”. Nilai dan pemahaman ini begitu dominan dan absolut sehingga tidak ada ruang untuk dialog, untuk melihat apakah di dalam menjalankan pemahaman ini terdapat unsur-unsur yang menistakan sebuah perkawinan sekaligus menistakaan tubuh dan seksualitas manusia, khususnya perempuan. Sebuah upaya sadar untuk merendahkan martabat manusia yang karenanya diwajibkan untuk menjalankannya. Padahal, tegas dan jelas pula bahwa pemahaman dan praktek cina buta ini bertentangan dengan nilai dan prinsip sebuah perkawinan dan pembentukan keluarga sakinah yang disyiarkan baik yang tertuang dalam ajaran agama maupun hukum yang dianut oleh negara.

Tanggapan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi NAD disampaikan secara lisan oleh ketua MPU, Prof. Muslim Ibrahim

Tanggapan difokuskan pada persoalan seputar institusi perkawinan, khususnya mengenai praktek Kawin Cina Buta. Menurut ketua MPU:

Secara umum, kasus-kasus yang disampaikan dapat diterima.Apalagi karena, semua ini terjadi di barak [dan pengungsian pada umumnya] yang merupakan kondisi tidak normal.Persoalan-persoalan tersebut pastinya akan bisa tuntas bila dikerjakan bersama-sama antara laki-laki dan perempuan.

Menurut pandangan Islam.
Laki-laki maupun perempuan tidaklah lebih sekali atau kurang sekali satu dari lainnya dalam adat Aceh, dalam masa pertunangan, pihak laki-laki membawa tanda ikatan (misalnya 2-3 mayam emas) sebagai bukti penguatan bahwa pertunangan sudah terwujud. Pertunangan masih dalam masa penjajakan, bila terjadi sesuatu, salah satu pihak yang mau membatalkan diwajibkan untuk membayar dua kali. Ini berlaku bagi perempuan dan laki-laki. Karenanya, hutang akibat membatalkan pinangan seperti yang terjadi dalam kasus penolakan kawin paksa, bukan semata-mata dikenakan kepada perempuan saja.

Mengenai Cina Buta:
Talak adalah salah satu hal yang dibenci Allah, tapi lebih baik daripada suami
istri hidup dalam ikatan yang penuh kekerasan.Di masa Rasulullah, jatuh talak 3 tidak dalam satu kali sekaligus. Penafsiran talak 3 dapat jatuh pada satu waktu berkembang pada jaman kepemimpinan Umar Bin Khatab. Agar talak 3 tidak dibuat sebagai main-main, pengaturan kawin antara lain yang dikenal dengan praktek kawin cina buta diperkenalkan. Istilah dan praktek kawin cina buta di Asia Tenggara pertama kali ditemukan dalam sebuah alkisah di kitab Jawi; seorang lelaki Islam yang mentalak 3 istrinya, kemudian menyesal dan ingin rujuk kembali. Lalu lelaki tersebut mengawinkan istrinya yang cantik dengan seorang Cina muallaf yang miskin dan buta, dengan harapan suami cina buta yang dibayar tersebut nantinya ketika diminta menceraikan istrinya juga akan menurut. Tapi kemudian jadi masalah karena suami cina buta tersebut tidak mau menceraikan istrinya. Dalam pengadilan Belanda, suami cina buta tersebut memenangkan kasus. Praktek Cina buta dalam istilah Arab adalah “muhalil”.

MPU NAD dalam pengurusan cerai/talak/kawin tetap menggunakan Kompilasi Hukum Islam. Pada prakteknya, masih ada ulama yang tidak mengkonsultasikan persoalan ini kepada pegawai pengadilan agama. Dengan tujuan baik, yaitu menghindari zinah, ulama membolehkan perkawinan siri.

MPU telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa praktek cina buta adalah tidak sah. Sekalipun dalam KHI tidak ada secara eksplisit tentang cina buta, tapi ada dalam aturan tatacara talak dan nikah. Apalagi karena kawin cina buta menyebabkan perkawinan yang dilangsungkan seolah-olah main-main, hanya dibatasi untuk satu hari.

Karena di Aceh, syariat dan adat di Aceh adalah seperti zat dengan sifat,
seringkali orang menyamaratakan agama dengan adat istiadat. Misalnya hambatan bagi perempuan untuk meminang laki-laki, misalnya dengan pepatah “jangan seperti sumur cari timba”. Padahal di Islam tidak mesti laki yang meminang. Rasulullah pun pernah dipinang oleh Khadijah.

Mengawinkan korban perkosaan dengan pelaku adalah bukan tindakan yang sesuai dengan penerapan Syariat Islam yang kaffah. Pemerkosaan menurut Islam sanksinya berat sekali. Bahkan, bagi seorang suami yang memperkosa seorang gadis, hukuman yang dikenakan padanya adalah hukuman mati.
Mengenai Wilayatul Hisbah (WH), dalam qanun disebutkan WH hanya punya hak menegur, memperingati dan mengawas serta memberhentikan tindakan pelanggaran. Dalam pelaksanaan tugasnya, WH bisa meminta polisi untuk melakukan penangkapan..
Masih kurangnya upaya sinergis antara MPU yang mempunyai peran perumusan dan Dinas Syariat Islam dalam melakukan sosialisasi Qanun. Karenanya, bila ada keluhan mengenai penerapan Syariat Islam, mohon kedua lembaga ini diberitahu sebagai masukan untuk perbaikan.

*tulisan ini diambil dari sebagian poin-poin hasil investigasi Pelapor Khusus Komnas Perempuan untuk Aceh ke-1 dengan judul “SEBAGAI KORBAN JUGA SURVIVOR;RANGKAIAN PENGALAMAN DAN SUARA PEREMPUAN PENGUNGSI TERHADAP KEKERASAN DAN DISKRIMINASI”.
Sumber: http://www.komnasperempuan.or.id

POLIGAMI

Sebenarnya poligami dalam islam itu tida wajib,tetapi hanya dibolehkan saja dan tujuannya adalah untuk kebaikan ummat manusia.

Islam memperboleh seorang laki-laki muslim kawin dengan empat orang perempuan dalam satu waktu, apabila ia sanggup memelihara dan berlaku adil terhadap istri-istrinya dalam soal nafkah, tempat tinggal dan pembagian waktu, apabila khawatir tidak akan dapat berlaku adil maka larangan kawin dengan perempuan lebih dari satu, sama dengan seperti dilarang kawin dengan perempuan lebih dari empat, Allah berfirman

yang artinya :

Apabila kamu dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim (orang yang kamu kawin) maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil maka kawinlah seorang saja, atau budak-budakmu. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berlaku aniaya” (An-Nisa: 3)

Maksud adil terhadap istri adalah sekedar yang dapat dilakukan oleh seseorang untuk berlaku adil, misalnya dala soal membagi waktu, nafkah, pakaian dan tempat tinggal. Adapun yang tidak dapat dilakukan oleh manusia, seperti melebihkan cintanya kepada salah seorang istri maka tidak termasuk dosa. Rasulullah bersabda ,  Artinya :

Ya, Allah, inilah pembagianku yang mampu saya laksanakan, janganlah engkau mencela tentang yang Engkau miliki dan saya tidak miliki (Keadilan bercita)

Sejarah Poligami

Poligami sudah berlaku sejak jauh sebelum datangnya islam. Orang –orang eropa yang sekarang kita sebut rusia, yugoslavia, cekoslovakia, jerman, belgia, belanda, denmark, swedia dan inggris semuanya adalah bangsa-bangsa yang berpoligami. Demikian juga bangsa-bangsa timur seperti bangsa ibrani dan arab, mereka juga berpligami. Karena tidak benar apabila ada tuduhan bahwa islamlah yang melahirkan aturan tentang poligami. Sebab nyatanya aturan poligami  yang berlaku sekarang ini juga hidup dan berkembang di negeri-negeri yang tidak menganut islam, seperti Afrika, India, Cina dan Jepang, tidaklah benar kalau poligami hanya terdapat di negeri-negeri islam.

Agama nasrani pada mulanya tidak mengharamkan poligami karena tidak satu ayatpun dalam injil yang secara tegas melarang poligami. Apabila orang-orang Kristen di Eropa malaksanakan monogami tidak lain hanya karena kabanyakan bangsan eropa – yang kbanyakan krister- pada mulanya seperti orang yunani dan romawi sudah lebih dulu melarang poligami. Kemudian setelah mereka memeluk agama kristen mereka tetap mengikuti kebiasaan nenek moyang mereka yang melarang poligami. Dengan demikian peraturan tentang monogami atau kawin hanya dengan seorang istri bukanlah peraturan dari agama kristen yang masuk kenegeri mereka, tetapi monogami adalah peraturan lama  yang sudah berlaku semenjak mereka menganut agama berhala. Gereja hanya meneruskan larangan poligami dan menganggapnya sebagai peraturan dari agama, padahal lembaran-lembaran dari kitab injil sendiri tidak menyebutkan adanya larangan poligami.

Hikmah poligami
bahwa sesungguhnya seorang laki-laki untuk berketurunan lebih kuat dari pada kaum wanita. Laki-laki sanggup melaksanakan tugas biologisnya sejak ia baligh sampai akhir usianya. Sedangkan kaum wanita tidak mampu melaksanakannya diwaktu sedang haid,nifas, hamil dan waktu menyusui. Kesanggupan wanita untuk berketurunan terbatas sampai waktu usia antara 40 sampai 50 tahun, sedangkan kaum lelaki sanggup sampai usia 60 tahun lebih. Apabila perempuan dalam keadaan diatas tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai seoang istri lantas apa yang harus dilakukan oleh seorang suaminya..?

Apakah ia harus menyalurkannya kepada istri yang halal untuk menjaga kehormatannya atau kah ia harus mencari penyaluran seperti yang dilakukan oleh binatang? Tanpa perkawinan sah? Padahal islam secara tegas melarang pelacuran.

Artinya: ” Janganlah kamu mendekati perbuatan zina, sungguh itu keji dan jalan yang buruk”. (17 Al-Isra`:33)

Kadang-kadang ada seorang suami mempunyai istri mandul atau penyakit yang tidak dapat diharapkan sembuhnya, pada hal si istri ingin tetap bersama suaminya. Sedangkan suami menginginkan adanya anak serta istri yang dapat mengatur rumah tangganya. Apakah suami harus tetap rela dengan keadaan yang menyedihkan?tetap bersama istrinya yang mandul, yang tidak dapat melahirkan keturunan atau tidak dapat mengatur rumah tangganya dan beban itu harus dipikul suami sendirian? Ataukah siistri harus diceraikan padahal ia masih mencintai suaminya dan suami juga masih mencintainya? Atau kah kasih sayang suami istri itu tetap diteruskan tapi suami kawin dengan perempuan lain tanpa harus berpisah dengan istri lama dan maslahat keduanya masih tetap terjaga? Inilah petunjuk terbaik yang lebih layak untuk diterima.

Peraturan tentang poligami dan prakteknya di dunia islam mempunyai manfaat yang besar dan membersihkan masyarakat dari akhlak yang tercela, dan menghindari penyakit masyarakat yang timbul dinegara-negara yang tidak mengenal poligami.

Demikianlah hakikat poligami, dan Sebenarnya poligami dalam islam itu tida wajib, tetapi hanya dibolehkan saja dan tujuannya adalah untuk kebaikan ummat manusia.

FASAKH

FASAKH

Fasakh artinya merusak atau melepaskan ikatan perkawinan. Fasakh dapat terjadi karena sebab yang berkenaan akad ( sah atau tidaknya) atau dengan sebab yang datang setelah berlakunya akad.

Faskh yang berkenaan dengan akad misalnya :

Bila akad sudah sempurna, tetapi ternyata perempuan yang dinikahi itu adalah saudara perempuannya sendiri, maka akadnya rusak.

perkawinan anak yang masih kanak-kanak yang dilakukan oleh wali selain ayah atau kakek. Setelah anak tersebut baigh maka sianak (laki-laki atau perempuan) berhak memilih untuk meneruskan perkawinannya atau dibatalkan. Pemilihan ini dinamakan ”khiyarul Bulugh, memilih setelah dewasa. Apabila salah satu pihak memilih untuk mengakhiri perkawinan maka akadnya rusak, Fasakh.

Contoh fasakh karena adanya sebab yang datang setelah berlakunya akad :

  1. Apabila salah seorang dari suami-istri murtad dari islam, dan tidak kembali lagi, akadnya rusak karena riddah atau keluar dari islam secara tiba-tiba.
  2. Suami istri asalnya sama-sama musyrik, kemudian suami masuk islam dan istri tidak mengikuti suaminya, maka sejak saat itu pula perkawian rusak.

Penceraian karena fasakh lain dengan penceraian karena thalaq, sebab thalaq ada dua macam, raj`i dan ba`in. Thalaq raj`i tidak menghentikan ikatan perkawina seketika dan thalaq ba`in menghentikan perkawinan sejak saat dijatuhkannya. Sedangkan fasakh baik dengan sebab yang datang setelah berlakunya akad atau karena adanya kekeliruan  waktu akad dapat memutuskan hubungan perkawian seketika, disamping itu cerai dengan jalan thalaq akan mengurangi bilangan thalaq. Seorang suami yang menthalaq istrinya dengan thalaq raj`i, kemudian menrujuknya didalalam iddah atau dikawin lagi dengan akad baru setelah lewat iddah, maka thalaq itu dihitung satu dan laki-laki itu masih memiliki dua thalaq lagi.

Adapun cerai dengan fasakh tidak mengurangi bilangan thalaq. Seandainya suatu akad diruasak dengan khiyar bulugh (menentukan pilihan setelah baligh) kemudian laki-laki dan wanita itu hidup bersama, kembali dengan satu ikatan perkawinan itu masih mempunyai tiga thalaq.

Fukaha dari kalangan Hanafiah tidak membedakan antara cerai dengan thalaq dan cerai dengan fasakh mereka berkata :

semua perceraian yang datang dari pihak suami dan tidak ada tanda-tanda dari perempuan maka penceraian dinamakan thalaq dan semua perceraian yang datang dati pihak istri dinamakan fasakh

Ada beberapa hal yang menyebabkan perkawinan dapat dirusakkan atau difasakh kan, dengan fasakh tersebut akad perkawinan tidak berlaku lagi, sebab-sebab itu antara lain :

  1. Apabila seorang laki-laki menipu seorang perempuan, atau perempuan menipu  laki-laki, misalnya seorang laki-laki mandul yang tidak dapar memberikan keturunan, maka siperempuan berhak mengajukan fasakh manakala ia tahu, kecuali ia memilih untuk tetap menjadi istri dan redha dipergauli suaminya. Umar bin khatab berkata kepada laki-laki yang mandul yang akan mengawini seorang perempuan ” Beritahukan padanya bahwa kamu mandul, biarkan dia memilih”
  2. Apabila seorang laki-laki mengawini seorang perempuan yang mengaku sebai seorang yang baik-baik, kamudia ternyata fasik, maka siperempuan berhak mengajukan fasakh untuk membathalkan akadnya.
  3. Seoran laki-laki kawin dengan seorang perempuan yang mengaku perawan tetapi ternyata janda, maka laki-laki itu berhak meminta ganti rugi maharnya sebanyak sekitar mahar seorang gadis atau janda.
  4. Seorang laki-laki mengawini seorang perempuan, kemudian kedapatan bahwa si istri itu cacat tidak dapat dicampuri, misalnya selalu beristihadhah – selalu keluar arah selai darah haid –  istihadhah adalah aib karena itu dapat menyebabkan fasakh dan merusak nikah.
  5. Seorang laki-laki mengawini seorang perempuan tetapi ditubuh perempuan itu ada penghalang yang menyebabkan siistri tidak dapat dipergauli, misalnya kemaluannya tersumbat, tumbuh daging atau robek atau ada tulangnya, suami boeh mengajukan fasakh dan membathalkan perkawinannya.
  6. Seorang laki-laki mengawini seorang perempuan tetapi perempuan itu mengidap penyakit atau cacat seperti supak,kusta atau gila.

Apabila suami berhak menagajukan fasakh dan membathalkan perkawinan, maka si perempuan juga berhak mengajukan faskh apabila ternyata suami memiliki cacat yang menyebabkan ia lari dari suaminya. Misalnya suami gila, berpenyakit belang, ssphilis atau penyakit yang menyebabkan suami tidak dapat bersetubuh dengan istrinya misalnya impotent, zakarnya terlalu kecil atau sebagainya.

FASAK DENGAN KEPUTUSAN HAKIM

Sebab-sebab fasakh yang jelas tidak memerlukan keputusan hakim misalnya apabila terbukti bahwa suami masih saudara sesusuan. Saat itu pula bagi suami istri wajib untuk memfasakh perkawinan dengan kemauan mereka sendiri.

Kadang-kadang ada penyebab fasakh yang tidak jelas sehingga memerlukan keputusan hakim, misalnya fasakh karena istri musyrik enggan masuk islam, suami sudah masuk lebih dahulu tetapi istri keberatan untuk masuk islam maka akadnya rusak tetapi jika istri tidak keberatan untuk masuk islam maka akadnya tidak difashk kan.

PEMBATHALAN PERKAWINAN KARENA CACAT

Para ulama berbeda pendapat mengenai fasakh nikah karena adanya cacat seperti yang disebutkan diatas. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa perkawinan selamanya tidak dapat dirusakkan atau difaskh karena cacat, apapun cacadnya. Dua orang imam yang mulia yaitu Daud bin Ali Al Asfihani dan Ibnu Hazm, kedua adalah tokoh mazhab Zhahiriyah dan didukung pula oleh sayed shiddiq khan pengarang kitab Raudhatun Nadiyyah, berkata :

Ketahuilah bahwa syara` menetapkan : Akad nikah yang shah mempunyai akibat hukum seperti halal bersetubuh, wajib memberikan nafkah, waris dan sebagainya. Dengan tegas agama menetapkan bahwa perkawinan itu hanya lepas dengan thalaq atau karena meninggal. Maka barang siapa yang beranggapan bahwa perkawinan dapat berakhir dengan sebab-sebab seperti yang disebutkan itu maka diperlukan dalil yang benar dan shahih untuk menggantikan dalil yang sudah ada. Cacat-cacat yang mereka sebutkan menjadi alasan fasakh tidak ada dalilnya yang terang, adapun Sabda Nabi (kepada perempuan yang baru dikawininya ternyata cacad) :

KEMBALILAH KEPADA KELUARGA MU”

Ucapan tersebut adalah ucapan thalaq. Demikian pula fasakh karena impotent tidak ada dalil yang shahih, karena itu perkawinan tetap berlangsung sampai ada sebab yang mewajibkan penceraian. Dan juga yang mengherankan adalah pengkhususan cacat-cacat tertentu.

  • Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa perkawinan dapat difashk kan karena cacad, pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama dari segala mazhab, terutama sekali Imam Abu Hanafi, Malik dan Ahmad beralasanRiwayat dari Ka`ab bin Zaid, bahwa Rasulullah s.a.w kawin dengan seseorang perempuan dari Bani Ghiffran, setelah rasulullah s.a.w masuk ke kamarnya dan duduk diatas ranjang. Rasulullah melihat adanya belang putih ditubuh si perempuan, Rasulullah s.a.w menjauhi tempat itu dan bersabda :    Artinya :  Ambillah, pakailah kembali pakaianmu
  • Dari umar r.a ia berkata : Manakala ada seorang laki-laki tertipu oleh perempuan misalnya karena gila, kusta atau supak maka wanita itu berhak menerima apa yang “ menimpanya” dan maharnya menjadi tanggungan wanita (Penghubung) yang menipunya.

Demikian penjelasan mengenai perbedaan pendapat para ulama tetang masalah fasakh, kami condong kepada jumhur ulama kerena sesuai denga tujuan perkawinan, karena kehidupan perkawinan harus didasarkan kepada ketenangan dan cinta kasih yang tidak mungkin timbul apabila salah satu pihak cacad atau penyakit yang membuat pihak lain tidak mau mendekatinya, cacat atau penyakit yang membuat orang lain lari dari padanya bukan lah sasaran yang dituju oleh perkawinan.

Komplek Istana Daruddunia Aceh Darussalam

Komplek Istana Daruddunia Aceh Darussalam

KAWIN MUDA

Bolehkan kawin muda…… eum… coba deh kita telusuri pendapat para ulama…. Mari kita bersilaturrahmi dengan ulama……

Para ulama dari empat mazhab sepakat mengenai bolehnya perkawinan anak laki-laki yang masih kecil dengan perempuan yang masih kecil pula, apabila akadnya dilakukan oleh walinya. Tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai keadaan walinya, jelasnya adalah sebagai berikut :

Pendapat Abu Hanifah

Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan anak-anak itu boleh. Setiap wali baik yang dekat maupun yang jauh dapat menjadi wali anak perempuannya yang masih kecil dengan anak laki-laki yang juga masih kecil. Wali ayah atau kakek lebih di utamakan, karena akadnya berlaku setelah keduanya dewasa. Apabila akadnya dilakukan oleh wali selain ayah dan kakeknya, misalnya oleh saudaranya, paman atau anak paman maka kedua anak tersebut harus memilih untuk terus atau membatalkan perkawinan setelah kedua baligh.

Pendapat Imam Syafi`i

Ima syafi`i berpendapat bahwa perkawinan anak yang masih kecil itu diperbolehkan seperti pendapat Abu Hanifah. Tetapi yang berhak mengawinkan hanya ayah atau kakeknya. Bila keduanya tidak ada maka hak mengawinkan anak yang masih kecil itu tidak dapat pindah kepada wali lainnya.

Pendapat Imam Malik

Imam Malik berpendapat bahwa perkawinan anak perempuan yang masih kecil dengan laki-laki yang masih kecil hanya dapat dilaksanakan oleh ayahnya sendiri apabila ayahnya masih hidup. Kalau ayahnya sudah meninggal nikahnya dilaksanakan menurut wasiat ayahnya sebagai penghormatan kepada keinginan ayahnya sewaktu masih hidup atau setelah meninggalnya.

Demikianlah pendapat para ulama yang terkenal dalam islam tentang perkawinan anak-anak, tetapi sekelompok ulama antara lain Abu Bakar Al Asham dan Ibnu Syubrumah, yang melarang adanya perkawinan anak-anak sebelum mereka sampai pada usia kawin, mereka beralasan dengan firman Allah :

” Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin” ( 4 An-Nisa :5)

Kalau anak kecil boleh kawin sebelum baligh maka ayat ini tidak ada gunanya, mereka juga berkata : kedua anak itu belum perlu kawin karena tujuan perkawinan menurut mereka adalah untuk pelepasan syahwat dan untuk memperoleh keturunan sedangkan anak-anak kecil tidak membutuhkan kedua tujuan tersebut. Alasan lainnya adalah adanya akibat akad yang tidak baik, yaitu sianak berkewajiban melaksanakan isi akad yang tidak mereka buat.

Pandangan penulis :

Saya sependapat dengan pendapat yang memperbolehkan perkawinan anak-anak secara mutlak. Namun menurut hemat saya orang tua berkewajiban untuk mendidik anak, mempersiapkan mereka supaya dapat mampu membina rumah tangga sejahtera, dan hidup bahagia.

Perkawinan Mut`ah

Mut’ah

Mut’ah atau Zuwaaj Muaggot itu yang dimaksud adalah kawin kontrak. Waktunya terserah perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak. Boleh satu tahun, boleh satu bulan, boleh satu hari, boleh satu jam dan boleh sekali main. Sedang batas wanita yang di Mut’ah terserah si laki-laki, boleh berapa saja, terserah kekuatan dan minat si laki-laki. Mereka tidak saling mewarisi bila salah satu pelakunya mati, meskipun masih dalam waktu yang disepakati. Juga tidak wajib memberi nafkah (belanja) dan tidak wajib memberi tempat tinggal.

Mut’ah dilakukan tanpa wali dan tanpa saksi, begitu pula tanpa talaq, tetapi habis begitu saja pada akhir waktu yang disepakati. Pelakunya boleh perjaka atau duda, bahkan yang sudah punya istri. Sedang si wanita boleh masih perawan atau sudah janda, bahkan menurut fatwa khumaini seseorang boleh melakukan Mut’ah sekalipun dengan WTS. Adapun tempatnya boleh dimana saja, baik di dalam rumah sendiri maupun di luar rumah.

Apa hukumnya MUT’AH ?

Ahlus Sunnah Waljamaah sepakat bahwa Mut’ah hukumnya haram. Dan diantara perawi haramnya Mut’ah adalah Al-Imam Ali kw.

Oleh karena itu di zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Khalifah-khalifah sebelumnya dan sesudahnya Mut’ah hukumnya haram.

Memang di Zaman Rasulullah SAW, diwaktu peperangan yang memakan waktu yang lama, dengan maksud menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, Mut’ah pernah diperbolehkan, tetapi kemudian diharamkan

oleh Rasulullah SAW, setelah mendapat perintah dari Allah SWT.

Dalam hal ini Rasulullah pernah bersabda yg artinya :

“Wahai manusia sesungguhnya aku pernah membolehkan bagi kalian bersenang-senang dengan wanita (Mut’ah), maka ketahuilah bahwa Alloh telah mengharamkannya sampai hari kiamat. Barang siapa masih memilikinya, hendaknya dilepaskan dan jangan kalian ambil sedikitpun dari apa yang telah kalian berikan.”

Itulah sebabnya umat Islam tidak ada yang melakukan Mut’ah, sebab hukumnya sama dengan berzina.

Dalam hal ini Imam Ja’far Ash-Shadiq mengatakan :

المتعة هي عين الزنى  ( البيهقى )

Mut’ah itu sama dengan zina.”

(Al-Baihaqi)

Sebenarnya hampir semua aliran Syiah juga mengharamkan Mut’ah, terkecuali aliran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah saja yang memperbolehkan Mut’ah. Jadi golongan Syiah sendiri tidak sepakat dalam menghalalkan Mut’ah dan hanya satu aliran saja yang memperbolehkan Mut’ah, yaitu Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah atau Syiahnya Khumaini.

Sebagai contoh, Syi’ah zaidiyah mengharamkan Mut’ah, demikian juga Syi’ah Ismailiyah, mereka juga mengharamkan Mut’ah dan hanya Syi’ah Khomaini saja yang menghalalkan Mut’ah. Memang Syi’ah Imamiyah Itsnaasyariyah itu paling sesat diantara aliran-aliran Syi’ah yang lain.

Menurut ulama-ulama Syi’ah, bahwa yang mengharamkan Mut’ah adalah Kholifah Umar, benarkah?

Itulah orang-orang  Syi’ah, mereka memang ahli dalam membuat hadist-hadist palsu dan ahli dalam membuat cerita-cerita guna menunjang dan menguatkan ajaran-ajaran mereka. Tetapi mereka tidak memikiran akibat dari cerita-cerita palsu mereka. Karena cerita-cerita semacam itu akan mempunyai resiko dan konsekwensi yang sangat besar.

Rasulullah saw pernah bersabda :

من حلل حراما او حرم حلالا فقد كفر

“Barangsiapa menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal, maka dia telah kafir.”

Dengan demikian berarti Khalifah Umar telah kafir, karena dia telah mengharamkan Mut’ah yang halal (Khasya). Itulah tujuan ulama-ulama Syi’ah, mereka selalu membuat cerita-cerita palsu guna mendiskriditkan Kholifah Umar.

Tidakkah orang-orang Syi’ah itu tahu bahwa cerita-cerita semacam itu mempunyai resiko dan konsekwensi yang sangat besar dan berbahaya. Sebab bila Khalifah Umar merubah hukum Allah sampai membuatnya kafir, lalu dimanakah Imam Ali pada saat itu, padahal beliau dikenal sebagai penasehat Kholifah Umar, mengapa beliau berdiam diri dan tidak mengambil tindakan, bahkan setuju dan mengikuti serta melaksanakan hukum tersebut. Tidakkah ulama-ulama Syi’ah itu tahu bahwa : “ARRIDHO BILKUFRI KUFRON “.

Kemudian bila Kholifah Umar itu kafir, mengapa beliau diambil menjadi menantu Imam Ali, sampai mempunyai dua anak. Apakah ulama-ulama tersebut juga termasuk ulama-ulama Syi’ah yang berkata, bahwa yang di nikahi Kholifah Umar itu bukan Ummu Kulsum putri Imam Ali, tapi jin yang menyerupai Ummu Kulsum ?

Kemudian apabila Kholifah Umar itu kafir, bagaimana Imam Ali kok diam dan menyetujui Kholifah Umar dimakamkan di sebelah atau seruangan bersama Rasulullah saw.

Selanjutnya, disamping Imam Ali, para sahabat juga menjadi korban dari cerita-cerita tersebut dan mereka juga  akan terkena sangsi. Sebab mereka juga menyetujui tindakan Kholifah Umar yang telah mengharamkan Mut’ah tersebut dan para sahabat itu tetap sholat (Mak’mum) di belakang Kholifah Umar.

Memang itulah diantara tujuan orang-orang Syi’ah, mereka benar-benar benci kepada para sahabat. Oleh karena itu mereka mengatakan bahwa para sahabat setelah Rasulullah saw wafat, mereka menjadi murtad dan tinggal beberapa orang saja (Al-Kaafi).

Mana yang lebih besar dosanya, berzina apa melakukan Mut’ah?

Berzina adalah suatu perbuatan yang diharamkan oleh Allah SWT. Karenanya orang yang telah melakukan Zina, dia akan merasa bersalah dan kemudian bertaubat, sebab dia merasa telah melanggar larangan Allah. Adapun orang yang melakukan Mut’ah, pertama dia mendapat dosa seperti dosanya orang yang melakukan perbuatan Zina. Kemudian jika dia menganggap Mut’ah itu halal, padahal Allah melalui RasulNya sudah mengharamkan Mut’ah, maka disamping dia mendapat dosanya orang yang berzina, dia juga mendapat dosa yang sangat besar, yaitu dosanya orang yang merubah hukum Allah, sesuatu yang haram dia halalkan.

Mengenai orang yang suka menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal, Rasulullah saw pernah bersabda :

من حلل حراما او حرم حلالا فقد كفر

Barang siapa menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal, maka dia telah kafir.”

Dengan demikian jelas sekali bahwa melakukan Mut’ah dosanya lebih besar daripada berzina.

Tidak cukup menghalalkan Mut’ah, ulama-ulama Syi’ah Imammiyah Itsnaasyariyyah itu bahkan memberi kedudukan tinggi sederajat dengan Rasululllah saw, bagi orang-orang yang melakukan Mut’ah.

Dibawah ini kami bawakan satu hadist palsu, yang ada dalam kitab syi’ah “ Minhayus Shodiqin” halaman 356, sekaligus sebagai bukti penghinaan orang-orang Syi’ah kepada Rasulullah saw dan Ahlul Bait :

“Barang siapa melakukan Mut’ah sekali, maka derajatnya sama dengan derajat Husin, barang siapa melakukkan Mut’ah dua kali, maka derajatnya sama dengan derajat Hasan, barang siapa yang melakukkan Mut’ah tiga kali, maka derajatnya sama dengan derajat Ali dan barang siapa melakukkan Mut’ah empat kali, maka derajatnya sama dengan derajatku”.

Demikian kekurangajaran ulama-ulama Syi’ah, mereka mengukur derajad Rasulullah saw dan Ahlul Bait dengan perbuatan Mut’ah. Sungguh satu kebiadaban yang tidak ada taranya.

Sumber Tulisan : http://www.albayyinat.net

PERKAWINAN YANG DILARANG ISLAM

Saudaraku… ternyata ada beberapa sistem perkawinan yang dilarang dalam islam, mau tahu perkawinan apa saja dilarang oleh islam…. Oke deh yuk sama-sama kita baca…

Kawin Mut`ah

Kawin ini dikenal juga dengan kawin Muaqqad artinya kawin untuk waktu tertentu atau kawin munqathi artinya kawin terputus, yaitu seorang laki-laki mengikat perkawinan dengan perempuan untuk beberapa hari, seminggu atau sebulan. Perkawinan ini diharamkan oleh islam, menurut kesepakatan mazhab ahli sunnah Waljama`ah. Mazhab Syi`ah, memperbolehkan kawin mut`ah padahal hadits-hadits menunjukkan haram kawin mut`ah.

Kawin ini dikatakan mut`ah artinya senang-senang, karena akadnya hanya semata-mata untuk senang-senang saja antara laki-laki dan perempuan dan untuk memuaskan nafsu, bukan untuk bergaul sebagai suami istri, bukan untuk mendapatkan keturunan atau hidup sebagai suami istri dengan hidup membina rumah tangga sejahtera. Perkawinan mut`ah bertentangan dengan hukum-hukum al-quran tentang perkawinan atau aturan tentang thalaq, Iddah dan waris.

Dalam perkawinan mut`ah tidak ada aturan tentang thalaq karena perkawinan itu akan berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan. Iddah dalam kawin mut`ah itu dua kali haid, bagi perempuan yang masih haid. empat puluh hari bagi perempuan yang sudah tidak berdarah haid dan tidak ada hak waris mewaris bagi “suami istri” tersebut.

Hadis Rasulullah s.a.w telah mengharamkan nikah mut`ah

Wahai sekalian manusia, sesungguhnya saya pernah mengizinkan kalian untuk kawin mut`ah, ingatlah bahwa sekarang Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat” (Riwayat Ahmad, Muslim dan Ibnu Hibban).

Ali bin Abi Thalib berkata :

“ Rasulullah s.a.w telah melarang kawin mut`ah diwaktu perang khaibar dan mengharamkan makan daging himar jnak” ( Riwayat Bukhari dan Muslim)

Abdullah bin Umar r.a berkata :

” Rasulullah s.a.w bersabda: pernah diizinkan kapada kami untuk kawin mut`ah selama tiga hari, kemudian diharamkan. Demi Allah saya tidak melihat seseorang yang kawin mut`ah padahal ia beristri kecuali saya akan merajamnya dengan batu” ( Riwaya Ibnu Majah).

Akad dengan niat menthalaq

Seseorang yang mengawini perempuan dan dihatinya ada ninyat untuk menceraikannya, hukumnya sama dengan nikah mut`ah, akadnya bathil meskipun para ulama sepakat menghalkannya. Para ulama terutama tokoh-tokoh shahabat melarang adanya kawin mut`ah tidak lain karena nikahnya hanya untuk waktu tertentu dan kawin dengan niat akan menceraikannya sama seperti kawin untuk waktu tertentu, ini sama dengan nikah mut`ah dan maksudnya adalah menipu, karena itu lebih patut untuk dibathalkan. Perkawinan semacam ini hanyalah main-main.

Nikah Tahlil

Orang melayu menamakannya Cina Buta, yaitu perkawinan seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang telah diceraikan suaminya sampai tiga kali. Setelah habis iddahnya perempuan itu diceraikan supaya halal dikawini oleh bekas suaminya yang telah menthalaq tiga kali. Nikah ini hukumya haram termasuk dosa besar yang dikutuk Allah ta`ala. Rasulullah s.a.w bersabda :

“ Allah Mengutuk Muhalli (yang menikahi) dan yang menyuruh menikah”( Riwayat Ahmad dari Abu Hurairah)

Rasulullah s.a.w menamai laki-laki yang kawin dengan maksud agar perempuan yang ia kawini dapat dirujuk oleh bekas suaminya dengan sebutan Bandot Sewaan. Dalam hadits dikatakan :

“ Tahukan kalian apakah bandot sewaan itu?. Para sahabat menjawab “tidak ya rasulullah” Beliau bersabda : “ Bandot sewaan adalah muhalli, Allah melaknat muhallil dan orang yang menyuruhnya”( riwayat ibnu majah dan al-hakim)

Pandangan Ibu Taimiyah tentang nikah Tahlil

Ibnu Taimiyah Berkata :

Agama Allah bersih dari aturan yang mengahramkan kehormatan seorang wanita kemudian dihalakan dengan bandot sewaan yang tidak ada niat untuk mengawinkannya, tidak akan membentuk ikatan keluarga, tidak mengingikan hidup bersama dengan perempuan yang ”dinikahi”nya. Kemudian dicaraikannya lantas perempuan itu halal bagi suaminya. Perbuatan seperti itu adalah pelacuran dan zina seperti yang dikatakan oleh para sahabat Rasulullah s.a.w. bagaimana mungkin barang yang diharamkan menjadi halal, yang keji menjadi baik, yang najis menjadi suci.

Kawin dengan bekas istri yang pernah dithalaq tiga

Apabila seorang laki-lki menceraikan istri sampai tiga kali, bukan tiga kali dengan satu ucapan, maka ia tidak halal rujuk kepada istrinya, kecuali bila si istri sudah pernha kawin dengan laki-laki lain, kemudian dicerai dan habis iddahnya. Perkawinan harus merupakan perkawinan yang benar, bukan untuk maksud tahlil.

Firman Allah s.w.t

” Maka apabila si suami mencaraikan (sudah thalaq yang kedua)maka perempuan itu tidak halal baginya sebelum ia kawin dengan suami lain. Kemudian jika seamiyang lain itu menceraikannya maka tidak ada dosa bagi keduannya (suami pertama dan istri pernah diceraikan) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.” ( 2 Al-Baqarah : 230)

Dengan demikian maka seorang perempuan tidak hala bagi suami yang pertama kecuali dengan syarat sebagai berikut :

  1. Perkawinan dengan suami kedua adalah perkawinan yang sah. Karena perkawinan fasid tidak dapat menghalalkan wanita di thalaq tiga kali suami yang pertama
  2. Perkawinan yang kedua bagi si perempuan adalah perkawinan atas dasar cinta bukan maksud tahlil (menghalalkan)
  3. Wanita itu sudah dicampuri oleh suami kedua – setelah akad – dan si laki-laki sudah merasakan madu dari istrinya dan istrinya juga sudah menikmati ” madu” suaminya.
  4. Hikmah dari perkawinan ini adalah untuk mengajar suami pertema biar ia tahu bahwa istrinya tidak halal lagi baginya setelah ia thalaq tiga kali. Kecuali apabila mantan istrinya  sudah kawin dengan laki-laki lain.

Wallahua`lam Bissawab

Makam 8 orang Pejuang Islam di Kecamatan Pandrah

Makam 8 orang Pejuang Islam di Kecamatan Pandrah

Sekcam Pandrah Turun Ke Gampong

Sekcam aktif membantu gampong

Sekcam aktif membantu gampong